Hari

Senin

,

Tanggal

01 Juli 2024

,

Jam

Jadilah Manusia yang Beruntung

jadilah-manusia-yang-beruntung 12 July 2017

Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.

 

          Telah menjadi sifat dan sikap kodrati manusia berharap mendapat keberuntungan dalam menjalani kehidupan  di dunia ini. Dengan keberuntungan akan membantu kebutuhan hidup atau meringankan beban hidup, bahkan terciptanya  kesuksesan hidup. Keberuntungan dalam arti sempit hanya dikaitkan dengan suatu undian berbagai kegiatan dan bentuk, seperti : Arisan, tiket, struk pembelian, kupon, dan perjudian. Dalam dunia usaha faktor keberuntungan dapat terjadi, dalam mana seorang  membeli barang atau surat berharga dengan harga murah di bawah pasaran, lalu dijual dengan harga lebih tinggi. Berbagai macam keberuntungan ini, semata terpokus kepada wujud materi baik berupa uang maupun barang yang beragam jenis, ukuran, bentuk, dan nilainya. Semata hanya mengejar untuk mewujudkan kebahagian dunia, padahal kehidupan sesungguhnya adalah alam akhirat. Adakalanya   seseorang untuk mendapatkan  keberuntungan atau mewujudkan keinginannya menempuh berbagai cara, antara lain meminta bantuan seorang bahkan lebih paranormal, dukun, peramal atau orang yang dianggap memiliki kemampuan lainnya tidak atas dasar agama. Ia mempercayainya seseorang tersebut memiliki kekuatan atau kemampuan khusus selain dari Allah SWT yang dapat mengabulkan apa yang dimohonkannya. Usaha demikian bertentangan dengan ajaran Islam karena menjurus kepada perbuatan syirik, seharusnya berdoa memohon keberkahan dan kemudahan hidup kepada Allah SWT  karena “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu”. Menjadi renungan kita bagaimana mencari keberuntungan untuk memenuhi persyaratan sebagai manusia surga dalam kehidupan akhirat kelak.

         Sesungguhnya begitu banyak keberuntungan yang akan diperoleh manusia dari Allah Swt apabila berusaha melakukan yang dianjurkan dan diperintah-Nya, bahkan baru niat saja untuk melakukan suatu kebaikan sudah merupakan rekening tabungan amal karena sudah dicatatkan, apalagi jika ia melaksanakan niat tersebut maka dicatat berlipat ganda. Sebagaimana dari Abu Hurairah Ra., bahwa Rasulullah Saw. Berkata, “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman, dan firman-Nya itu benar, “Apabila hamba-Ku bermaksud melakukan kebaikan, maka catatlah sebagai satu kebaikan. Jika ia melakukannya, maka catatlah sepuluh lipat baginya. Apabila ia bermaksud .........” (Hadits ditakhrij oleh At Tirmidzi).

          Umat Allah Swt ditawarkan berbagai kemudahan untuk mendapat balasan pahala sehingga aneka macam dapat diperbuat seperti ajakan atau himbauan untuk melakukan kebaikan dan mencegah suatu perbuatan yang buruk  kepada sesama  manusia yang dikenal dengan istilah “Amar maruf nahi munkar” yang berulang termuat dalam kalam Illahi (QS. At Taubah : 71, QS. Al Ma’idah : 78-79, dan QS. Ali Imran : 104 dan 110). Kiranya dapat menggerakan kesadaran umat manusia untuk berlomba-lomba mencari kebaikan dan keberkahan Allah sebagai bekal kehidupan pada akhir jaman.

           Memang  manusia cenderung melakukan perbuatan yang dilarang dalam Al Qur’an dan As Hadits, baik kurang disadari (khilaf) maupun sengaja dilakukan karena terpaksa atau sudah merupakan pekerjaan atau prilaku buruk sehingga perlu diketuk hati dan pikirannya agar kembali ke jalan yang benar dan lurus yang di ridhoi Allah pencipta alam semesta. Oleh karena kita terlahir sebagai manusia yang diberkahi pikiran dan perasaan diamanati kewajiban hidup untuk memberikan nasihat yang berfaedah kepada sesama saudara muslim. Ini sebagaimana termaktub dalam Qur’an Surat Al A’raf “Aku bagi kalian adalah pemberi nasehat (berkeinginan baik)”dan diperkuat oleh hadits : “Aku niat bai’at (berikrar) kepada Rosulullah Saw. Untuk mendirikan shalat, memberikan zakat, dan nasehat terhadap setiap muslimin”. (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Dimulai Dari Yang Kecil

          Melakukan seruan sebaiknya dimulai dari hal yang kecil supaya lebih mudah diterima dan dicerna untuk dilaksanakan karena tidak menyita pikiran, memerlukan modal bersifat material, banyak tenaga, dan waktu khusus. Misal terdapat sedekah yang bukan berupa uang, melainkan hanya selingan dalam melakukan kegiatan  rutinitas setiap hari maupun diwajibkan oleh agama, sebagaimana suatu hadits menyatakan : ” Setiap ruas tulang manusia itu sebaiknya disedekahi (oleh pemiliknya) setiap  terbit matahari (sebagai pernyataan syukurkepada Allah atas keselamatan tulang-tulangnya). Dan macam sedekah itu banyak sekali berlaku adil diantara dua orang (yang sedang bertengkar/berkelahi) merupakan sedekah; membantu teman ketika hendak menaiki tunggangannya atau memuatkan barang teman ke punggungnya adalah sedekah; ucapan yang baik adalah sedekah; setiap langkah yang engkau ayun untuk melakukan  shalat adalah sedekah; dan menyingkirkan hal yang merugikan orang dari jalan juga sedekah”. (HR. Bukhari). Dari hadits lain pun terdapat perbuatan yang ringan dilakukan tetapi dampaknya besar karena hingga Allah berterima kasih padanya dan mengampuninya yaitu “bagi yang sedang berjalan lalu mengambil dahan duri yang dijumpainya”

         Begitu pun di lingkungan kantor tidak sedikit seruan atau himbauan yang dapat dilakukan, seperti : Mengajak shalat ke masjid, membuang kertas atau bungkus rokok di lantai, mengajari yang belum paham computer, internet (WA, email, focebook, line, wibsite, dan IT lainnya), bekerja iklas, taat aturan, menghormati pimpinan, menengok rekan sakit atau meninggal, bertutur kata sopan, bersikap santun, berqurban pada Idul Adha, dan senang menyumbang. Yang utama dalam bekerja bukan sekedar pengabdian kepada negara dan masyarakat, melainkan dilandasi niat beribadah. “…….salah satu hadis Nabi, bekerja  didasari ibadah untuk menafkahi diri dan keluarga, mempunyai nilai setara dengan jihad fi sabilillah, dapat menghapus dosa, dan menjadi perisai dari api neraka”. (M Yusuf Fachrudin, Materi Kultum Yang Lucu, Menghibur dan Mencerahkan, hal 98). Semua ini memperlihatkan, sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih  bagi umatnya yang ingin mendapat imbalan kebaikan dari-Nya.

         Keberuntungan apa bagi manusia yang menyerukan kepada sesamanya untuk melakukan yang maruf dan mencegah yang munkar ? Ternyata segala yang telah ditentukan-Nya, apabila kita kerjakan tidak ada yang sia-sia karena akan mendapat balasan. Tidak seperti manusia membuat kesepakatan dan janji untuk membayar upah bagi pekerja dalam satu proyek, tetapi proyek ditinggalkan dan pekerjanya pun terlantar tidak dibayar.Akibatnya dua pihak yang dirugikan, pekerja dan pemilik bangunan proyek karena sejumlah uang borongan proyek tersebut sudah dibayarkan.  Padahal sebagaimana suatu hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Allah Azza Wa Jalla memusuhi perbuatan demikian dan sebagai lawan di hari kiamat. Kembali kepada balasan dimaksud di atas adalah berupa pahala yang sama dengan pahala bagi orang yang mengerjakannya, sesuai hadits : “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya”. (HR. Muslim no. 1893).

          Allah Maha Adil telah memberikan pahala yang nilainya sama pada dua perbuatan yang berbeda, baik bagi penyeru maupun bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan baik tersebut. Menggugah dan mendorong kita untuk berbuat kedua hal ini. Pilihan yang pertama variasi sarana yang digunakannya, dapat dilakukan secara lisan atau ucapan dari seseorang kepada seorang atau lebih atau kelompok. Dilakukan secara serius, santai, bercanda atau dapat pula secara formil berupa : Hutbah, dakwah, ceramah, kultum, rapat, dan apel. Begitu pula dengan menggunakan sarana teknologi informasi seperti : Komunikasi telpon dan HP, SMS, WA, Line, facebook, dan email. Adapun pilihan kedua tidak tergantung kepada bermodalkan materi, apalagi kaya dulu baru melakukan. Melainkan siapa pun dapat berbuat, cukup bermodalkan kemauan. Dukungan kemampuan materi akan lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas nilai perbuatan, apabila dilandasi niat dan ketulus-ikhlasan semata beribadah kepada Allah.

          Galakanlah momentum baik ini untuk berbuat mulai sekarang, jangan lewatkan waktu dan kesempatan dalam menggapai berkah dan rahmat Allah, seolah hari ini adalah kesempatan terakhir agar memacu kita melakukan semaksimal mungkin.Tidak ada alasan tidak bisa karena melakukan hal ini sesuatu yang biasa  sebagai wujud kasih sayang dan tolong menolong karena pada dasarnya sesama orang muslim itu bersaudara. Tanamkan dalam benak pikiran kita kehidupan di dunia ini hanya sementara dan tidak sempurna kecuali kehidupan akhirat. Allah menjamin bahwa kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan saat ini (walal-aakhiratu khairul laka minal-uulaa).

          Terbentuknya sikap saling mengingatkan dan senang diingatkan diantara umat muslim merupakan tegaknya kekuatan iman yang memperkuat nikmatnya beragama dan tali persatuan umat Islam dalam menciptakan hakekat agama Islam sebagai rahmatan lil alamin. Oleh karena itu sikap umat muslim gemar  mengingatkan dan berterima kasih diingatkan harus menjadi budaya di negara kita yang mayoritas beragama Islam karena memiliki nilai positif untuk kemajuan  Islam yang otomatis memberikan kontribusi bagi pembangunan negara.

 

Keberuntungan Lain

          Apa yang dikemukakan di atas hanya sekelumit contoh perbuatan yang memberikan keuntungan  kepada manusia karena Allah telah menawarkan sikap-perbuatan lainnya bagi manusia yang dinilai beruntung.

          Dalam pergaulan hidup sesama manusia  banyak kebutuhan untuk saling terpenuhi. Tidak hanya kebutuhan penutup tubuh, pemenuhan perut, pemenuhan rohani, dan tempat beristirahat di waktu siang dan malam, tetapi yang lainnya seperti : Amanat dan janji. Tidak dapat dihindari suatu saat kita terima amanat dari seseorang untuk disampaikan kepada orang lain, begitu pula dalam kehidupan ini kita bersinggungan dengan kebutuhan berjanji kepada orang lain dan berjanji kepada diri sendiri (nazar). Apabila kita memilki tanggung jawab yang baik dalam menyampaikan segala amanat dan selalu memenuhi apa yang kita janjikan, maka kita termasuk orang yang beruntung. Sebagaimana qur’an Surat A-Mu’Minuun ayat 8 menyatakan “Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya (Walla dina humli amanatihim wa ahdihim ra’uuna)”.

         Dalam hidup ini tidak luput dari cobaan yang dapat menyangkut : Harta, pekerjaan (jabatan), jiwa, dan nyawa yang menuntut kesabaran untuk menghadapinya agar cobaan tersebut berakhir atau terlupakan. Menjaga perbatasan negeri merupakan kewajiban bagi umat Islam terhadap serangan dari musuh. Dengan pengucapan  dua kalimat sahadat yang  merupakan kebutuhan rohani sehingga terpatri dalam hati bahwa Islam agama kita, maka menuntut kesadaran yang tulus dan iklas untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kita termasuk sebagai orang yang beruntung apabila dapat melaksanakan ketiga hal ini, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat  Aali’Imran : 200 “Wahai orang-orang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkan kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.

          Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim termasuk beruntung, demikian halnya bagi seorang mualaf. Orang beruntung lainnya adalah yang mendapat rizki halal dengan menerima rela apa adanya  dan merasakan kepuasan sehingga mensyukurinya.  Perihal ini sebagaimana terungkap dalam Hadis dari Abdullah bin Amr, Rosulullah bersabda : “Telah beruntung orang yang masuk Islam, dan mendapar rizki pas-pasan, dan Allah memberi  qana’ah kepadanya terhadap apa yang diberikan kepadanya”.

          Terdapat keberuntungan manusia lainnya, bukan karena manusia harus melaksanakan sesuatu yang diperintahkan Allah, melainkan suatu perbuatan dilarang yang harus dihindari, yaitu : Meminjamkan uang dengan bunga berlipat ganda (riba) kepada orang yang membutuhkan sehingga untuk menjauhi perbuatan yang dilarang ini keimanan seseorang harus diperkuat. Perintah ini sebagaimana firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS Aali ‘Imran : 130).

          Untuk mewujudkan nilai ketaqwaan dan amal-saleh yang tinggi sebagaimana tersebut, di atas, maka dalam diri manusia harus tertanam kuat jiwa yang menyenangi sesuatu kebaikan (ragbah) dan sebaliknya takut pada keburukan (rahbah). Selain pula memiliki sikap pandai mengukur diri sendiri atau mengevaluasi agar selalu berintrospeksi (muhasabah) dan konsisten dalam menjaga keimanan (istiqamah).

 

# Catatan :

Tulisan Artikel/Opini ini telah dimuat dalam Surat Kabar

Seputar Malut” hari Selasa, tanggal 01 Agustus 2017 pada Hal. 9.

 


Copyright © 2022 - 2024. Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Gresik Kelas IA